Napak Tilas Kerajaan Samudera Pasai

Napak Tilas Kerajaan Samudera Pasai

Menyusuri jejak kerajaan Samudera Pasai, Aceh, pertengahan April lalu, dalam rangka melengkapi data penulisan novel berlatar belakang sejarah Samudera Pasai, aku menemukan beragam pengalaman, termasuk kejadian gaib.

Dari Jakarta, awalnya aku ingin menempuh perjalanan melalui laut agar bisa merasakan desir angin laut menerpa wajahku, seperti Ibnu Batutta ketika berkunjung ke sana. Namun niat itu urung. Karena selain membutuhkan waktu minimal empat hari, sebuah mimpi membatalkan keinginan itu. Dalam mimpi sehari sebelum berangkat itu, aku didatangi seorang putri yang mengisyaratkan agar aku tidak berangkat melalui laut.

Akhirnya aku mencari jalan aman, dengan naik pesawat dari Jakarta ke Medan. Cuaca sedang tidak bersahabat saat itu, pesawat berputar-putar di udara menunggu sinyal aman dari Bandara Polonia, Medan. Aku berdoa dalam hati, agar diberi keselamatan dalam perjalanan. Pesawat pun tidak bisa mendarat sesuai jadwal. Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Medan dengan selamat.

Dari Medan aku harus menuju Lhoksuemawe, pusat kerajaan Samudera Pasai zaman dulu. Dengan menggunakan bus berpenyejuk udara, aku memilih berangkat tengah malam agar sampai di Lhokseumawe pagi. Sekitar enam jam perjalanan malam itu aku manfaatkan untuk tidur agar sampai kota tujuan dengan kesegaran pagi yang indah.

Pagi hari, bus memasuki Lhokseumawe, kota seluas 181,06 kilometer persegi, yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara. Bus berhenti di Terminal Bus Lhokseumawe. Suasana terminal tidak terlalu ramai. Baru beberapa langkah aku ke luar terminal, para tukang betor (becak motor), kendaraan khas kota Aceh, menyambutku. Satu orang kupilih untuk mengantarkan aku ke tujuan, pusat Kerajaan Samudera Pasai.

Tukang betor itu, Bang Win, rupanya sangat tertarik dengan niatku. Meski asli Aceh, ternyata ia mengaku belum pernah berkunjung ke sana. Tetapi Bang Win mengetahui lokasinya, yaitu di Guedong, 15 kilometer lebih ke arah timur dari Kota Lhoksuemawe. Setelah biaya jasa transportasi disepakati, aku pun mencari penginapan. Usai sarapan pagi, Bang Win siap membawaku ke Guedong.

Perjalanan setengah jam itu pun aku nikmati sambil melihat kiri kanan jalan.

Di Pasar Guedong, betor belok ke kiri, menuju makam Raja Malikussaleh. Di daerah ini, aku sudah memasuki pusat Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13. Perjalanan menuju makam melewati sawah-sawah dan rumah penduduk. Ternak sapi dan kambing terlihat di sepanjang perjalanan. Kata Bang Win, ternak itu dibiarkan liar begitu saja, tidak dikandangkan, tetapi pemiliknya mengetahui mana ternak milik mereka, mana milik orang lain.

Jam menunjuk pukul sepuluh ketika aku tiba di Makam Malikussaleh. Yakub, penjaga Makam, menyambutku dan kami sempat ngobrol. Satu jam sebelum kedatanganku, kata Pak Yakub—begitu aku memanggil pria 70 tahun itu--sudah datang rombongan 50 orang dari Bandung yang berkunjung ke makam ini. Setiap hari, Makam Malikussaleh dan Malikuddhahir memang tidak pernah sepi oleh kunjungan para penziarah. Umumnya mereka datang dari luar kota, bahkan tidak sedikit yang datang dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Menempati areal sekitar 200 meter persegi, makam itu dikelilingi pagar setengah tembok yang tingginya sekitar dua meter. Di sisi kanan dari arah jalan, terdapat dua pohon besar, yang kata Pak Yakub, berusia ratusan tahun.

Selain dilindungi oleh rimbunnya dua pohon besar, makam itu juga diayomi saungan sehingga terhindar dari terik matahari dan hujan. Di atas saungan, terdapat tulisan kalimat yang diambil dari ukiran di batu nisan makam Malikussaleh dan Malikuddhahir yang berbunyi: Dikubur almarhum, yang diampuni, yang takwa, pemberi nasihat, yang dicintai, bangsawan, yang mulia, yang penyantun, penakluk, yang digelar dengan “Sultan Al-Malikussaleh”. Yang paham agama, yang berpindah (wafat) dalam bulan Ramadhan tahun 690 H.

Sementara itu, tulisan lain berbunyi: Ini kubur yang bahagia, yang syahid, almarhum “Sultan Al-Malikuddhahir”. Matahari (pemberi cahaya) dunia dan agama, Muhammad anak Al-Malikussaleh, wafat pada malam ahad 12 hari bulan Zulhijah tahun 726 H.

Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulu merupakan istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhokseumawe, Aceh Utara, itu tak lagi bisa dinikmati. Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Bekas-bekas pondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat kerajaan berdiri. Di atas tanah seluas lebih dari lima hektare itu, kebesaran kerajaan masih sangat terasa.

Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut, ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai, yang menganggap ulama itu sebagai lawan politiknya. Atas kesewenang-wenangannya, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit.

Setelah dari makam Malikussaleh dan Malikuddhahir, aku menuju makam Sultanah Nahrisyah, sekitar satu kilometer ke arah pantai. Letak makam memang tidak jauh dari bibir pantai. Hanya dibatasi tambak-tambak ikan yang konon pada zaman kejayaan Samudera Pasai adalah kanal-kanal kecil yang dapat dilalui perahu untuk transportasi laut.

Makam Ratu Nahrisyah yang terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora itu sangat mengesankan. Marmer-marmer mewah cokelat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat, India, untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang.

Dari makam Ratu Nahrisyah, aku memandang ke arah pantai, ke Selat Malaka. Aku pun membayangkan, dulu pada abad ke-13, tempat ini adalah dermaga yang begitu besar dan indah, tempat perdagangan internasional yang begitu sangat terkenal. Pedagang dari Eropa, India, Afrika, Timur Tengah, semuanya tumpah ruah di sini.

Menurut catatan, begitu terkenalnya kejayaan Samudera Pasai ketika itu, Mahapatih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, berambisi untuk menaklukannya di bawah Sumpah Palapa.

Tahun 1350, Majapahit menyerang Samudera Pasai, dibantu dengan sekutunya dari kerajaan hindu– Sriwijaya dan India. Perang inilah yang mungkin membuat kejayaan Samudera Pasai selanjutnya tak tertuliskan. Seakan berhenti di kekuasaan Sultanah Nahrisyah, putri Sultan Malikuddhahir III.

Padahal, menurut Ramlan Yunus, anggota tim peneliti peninggalan Kerajaan Samudera Pasai, dan kata penjaga makam Ratu Nahrisyah, kekuasaan Samudera Pasai tidak berhenti hanya sampai Ratu Nahrisyah. Berdasarkan catatan artefak yang terdapat di makam-makam lain, yang hingga saat ini masih terus ditemukan, kekuasaan Samudera Pasai berlanjut hingga abad ke-16 meski bukan lagi dari darah daging Malikussaleh.

“Harus ada penelitian yang berkesinambungan dan catatan yang tersusun untuk menggali kembali kejayaan Samudera Pasai. Karena hingga kini, belum ada keseriusan dari pemerintah setempat untuk menggali silsilah dan sejarah Samudera Pasai lebih jauh,” kata Ramlan, yang saat itu menemani aku mengunjungi Makam Sultanah Nahrisyah.

Lebih jauh Ramlan menceritakan bahwa ia bersama tim yang diketuai Taqiyuddin Muhammad Lc bekerja secara independen untuk mendata dan menggali jejak-jejak peninggalan kerajaan Samudera Pasai. Karena di sekitar makam Ratu Nahrisyah, sering ditemukan barang-barang berharga dari peninggalan abad ke-13 dan ke-14. Bahkan belum lama ini, ditemukan stempel kerajaan yang diyakini peninggalan pada masa berkuasanya Malikuddhahir II.

Dalam perjalanan ini, aku mengalami kejadian yang sulit dipercaya. Dari makam sang ratu, aku pulang ke penginapan untuk beristirahat. Tetapi antara sadar dan tidak, aku merasa didatangi dua orang berpakaian layaknya prajurit kerajaan. Mereka memaksaku untuk kembali ke makam Ratu Nahrisyah.

"Ayo, ikut kami kembali ke makam Ratu Nahrisyah," ajak dua orang prajurit itu.

Aku tercengang, tidak percaya pada apa yang aku lihat. "Tidak mau, aku tidak mau ikut," ujarku, menolak sambil berteriak histeris menyebut Allahu Akbar berulang-ulang.

Begitu sadar, aku lihat Bang Win, pemandu-ku sudah ada di depanku sambil menatapku bingung.

"Apa yang telah terjadi, Bang?" tanyaku pada Bang Win.

"Kamu baru saja berteriak sambil merontak-rontak," jawab Bang Win.

Aku ceritakan kepada Bang Win apa yang aku alami.

Kegaduhan itu juga mengundang tetangga kamar yang langsung berdatangan ke kamarku. Mereka bertanya-tanya, “Kenapa? Ada Apa?”

Kepada mereka, aku pun menceritakan apa yang baru saja aku alami. Salah satu dari mereka menganjurkan agar aku kembali lagi ke makam Ratu Nahrisyah.

“Coba kamu kembali ke makam Putri Nahrisyah, mungkin ada yang terlupa di sana,” kata salah satu dari mereka.

Aku tidak menghiraukan anjuran itu karena badanku agak lelah. Bang Win pun menganjurkan agar aku istirahat kembali. Namun, baru beberapa menit berlalu, aku kembali didatangi dua prajurit tadi dan memaksaku untuk ikut mereka. Tanganku dicengkeram oleh dua prajurit itu.

“Ayo ikut kami,” kata dua prajurit itu.

Aku berontak sekuat tenaga. Karena dalam pikiran sadarku, kalau aku ikut mereka, berarti rohku yang ikut. “Tidak mau! Tidak mau. Aku tidak mau ikut. Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

Aku kembali tersadar. Kejadian itu disaksikan oleh empat orang yang ada di ruangan. Mereka langsung menenangkan aku. Tanpa pikir panjang lagi Bang Win langsung membawaku kembali ke makam Ratu Nahrisyah.

Setibanya di sana, aku bertemu lagi dengan Ramlan. Aku ceritakan kepadanya apa yang aku alami.

“Hal-hal aneh memang sering terjadi di tempat ini. Pada 1994, ketika kompleks pemakaman ini dipugar, ada orang yang mengukur salah satu makam dengan jengkalan kaki. Detik itu juga, orang tersebut mulutnya langsung berbusa dan tidak sadarkan diri. Orang itu baru sembuh ketika kita meminta maaf pada hal yang gaib,” tutur Ramlan. ”Pada 2004 lalu, ketika terjadi tsunami, ketinggian air di tempat ini sekitar satu meter dua puluh senti. Air setinggi itu tidak melewati makam ini, namun menjebol tembok-tembok pembatas makam yang mengelilinginya.”

Oleh Ramlan, aku pun diantar kembali ke makam. Rupanya dua blok dari makam Ratu Nahrisyah, hanya sepuluh langkah jaraknya, aku melihat makam-makam prajurit kerajaan Samudera Pasai. Mungkin mereka marah kepadaku karena tidak kusapa. Dan aku merasa sangat beruntung karena aku dituntun untuk kembali lagi ke makam tersebut. Karena pada kunjungan yang kedua, aku akhirnya dapat melihat makam Panglima Kerajaan Samudera Pasai yang panjangnya kurang lebih tujuh meter.

Ketika kejadian ini aku ceritakan kepada rekanku yang tinggal di Lhoksuemawe, dia menanggapinya dengan serius. “Seperti yang pernah aku ceritakan kepadamu Gar, di sekitar makam para prajurit itu, warga sering menemukan uang emas saat hujan turun. Sayang aku belum pernah melihat makam itu.”

Aku bergidik mendengar penjelasannya walau tentu tidak ada maksud untuk menakut-nakutiku. Bagaimanapun pengalaman itu sangat berarti buatku.

Napak Tilas Kerajaan Samudera Pasai Video :



Arsitektur Post Modern. Wawancara dengan koran Seputar Indonesia

Arsitektur Post Modern.

24
Musée du Louvre (#313)Beberapa waktu lalu, saya dihubungi oleh Mbak Raya dari Koran Seputar Indonesia untuk wawancara tentang arsitektur postmodern. Tampaknya, media arsitektur yang mengulas arsitektur bagi khalayak umum juga mulai tertarik dengan istilah ini. Meskipun pertanyaan yang diajukan seputar hubungannya dengan arsitektur yang dikenal masyarakat, menurut saya justru disini letak dari korelasi yang mendasar dari keingintahuan masyarakat dengan gerakan filsafat dan arsitektur yang seringkali masih terasa jauh dari pemahaman yang sebenarnya.

Harold Washington Library Ornamentation
Unsur simbolisme dan metafor yang seringkali hadir dalam arsitektur Post Modern

Pertanyaan seputar dunia postmodern memang agak susah dipahami. Karena konsep ini sangat mendalam dan bila dijelaskan bisa satu buku sendiri. Ada ahli-ahli teori dalam dunia akademisi yang lebih tau dari saya sebenarnya. Karena itu, silahkan berkomentar bila sekiranya ada pendapat saya yang kurang selaras dengan teorinya.

Apa definisi dari post modern? Tolong jelaskan ?
Untuk mengerti tentang Postmodernisme, kita harus mengerti tentang 'modernisme', karena pada dasarnya postmodern adalah gerakan kritis terhadap 'modern'. Arsitektur modern adalah jenis arsitektur yang mendasarkan diri pada fungsi, tiadanya ornamentasi, dan penghilangan unsur-unsur dekoratif yang tidak perlu. Contohnya: arsitektur minimalis murni adalah jenis arsitektur modern yang berkembang. Arsitektur seperti ini tidak mengakomodasi elemen dekoratif, simbolik ataupun tradisional.

Postmodernisme adalah sebuah gerakan berdasarkan pandangan kritis atas gerakan modern yang dirasa tidak lagi manusiawi atau dapat menyelesaikan problem-problem dalam dunia modern itu sendiri. Dalam arsitektur menjadi sebuah gerakan baru untuk memberikan keleluasaan bagi berbagai faktor rancangan yang tidak pernah tercakup sebelumnya dalam arsitektur modern agar bisa muncul dan terakomodasi.

Postmodernisme bukanlah sebutan akan gaya arsitektur belaka, tapi lebih jauh dari itu, merupakan gerakan filsafat dan moral yang patut dicermati sebagai bagian dari kritik terhadap teori arsitektur modern yang cenderung meniadakan unsur-unsur yang manusiawi seperti simbolisme, dekorasi, dan hal-hal yang sifatnya non fungsional. Hal ini karena arsitektur modern yang kaku dan mendasarkan diri pada fungsi dirasa tidak dapat memberi solusi bagi keinginan manusiawi untuk lebih bebas berekspresi.

03g Southern California CalTrans Headquarters - Broad Plaza (E)
Ekspresi yang cenderung berlebih dalam konstruksi yang dibuat menjadi dekorasi, yang selalu dianggap tidak fungsional dan dekoratif biasanya diabaikan dalam arsitektur modern.

Bila kita tarik ke Indonesia, maka filsafat postmodernisme akan lebih dapat diterapkan karena pada dasarnya masyarakat kita sangat menyukai pembebasan bentuk-bentuk yang sifatnya dekoratif dan simbolik, misalnya: meskipun gaya rumah atau apartemen yang digunakan modern, tapi seringkali menggunakan ornamentasi atau dekorasi, dan banyak elemen yang sifatnya simbolik, misalnya: kepercayaan terhadap petungan Jawa, atau Feng Shui. Contoh lainnya, meskipun gaya arsitektur yang digunakan adalah 'gaya minimalis', tapi sebenarnya masih banyak ornamentasi yang dicoba untuk ditampilkan, misalnya dekorasi lis profil. Dalam arsitektur 'modern' yang murni, hal seperti dekorasi atau simbolisme itu tidak boleh ada.

gamelan
Untuk mengangkat kembali nilai-nilai arsitektur tradisional, bisa dilakukan kedalam arsitektur yang berkonstruksi modern untuk mencapai nilai-nilai yang dipahami dalam dunia modern

Ciri-ciri arsitektur post modern? Sebutkan dan beri contoh? Bagaimana dengan bentuk atapnya? Pilarnya? Apa yang ditonjolkan dalam gaya post modern?

Dalam bicara postmodern, secara dangkal kita bisa mengkaitkannya dengan bentuk bangunan seperti bentuk atap, penggunaan pilar, atau ornamentasi. Bahkan bentuk-bentuk yang aneh seperti Plaza Ex juga bisa disebut postmodern. Tapi kita tidak bisa melihatnya dengan pengertian yang dangkal, bila ingin memahami postmodern.

Left image source from archiwork.net


Betul bahwa metode akomodasi bentuk-bentuk elemen tradisional atau simbolisme dapat digolongkan menjadi metode desain dalam postmodernisme, tapi bukan berarti semua yang mengandung atap tradisional atau aneh, pilar gaya Romawi, dan sebagainya bisa langsung disebut sebagai Postmo. Tanpa adanya pengertian mendasar tentang postmodernisme, maka hasil karya seorang arsitek boleh jadi terlihat seperti postmodern, tapi sebenarnya ia adalah bagian dari gerakan yang harus dikritisi kembali bila metodenya tidak mendasar.

Ciri-ciri arsitektur postmodern adalah mengakomodasi fungsi dan bentuk yang dirasa perlu untuk hadir dalam rancangan, misalnya arsitektur tradisional, simbolisme, dekorasi, dan sebagainya. Misalnya, bila arsitektur sebuah bangunan itu penuh dengan garis-garis tumpang tindih seperti sarang burung... boleh jadi sang arsitek sedang mengakomodasi bentuk sarang burung dalam bangunannya. Bila dalam desain bangunan terdapat pilar gaya Romawi atau pilar gaya Jawa, tapi menggunakan konstruksi modern, boleh jadi sang arsitek sedang mengakomodasi bentuk ornamentasi dan budaya Romawi atau Jawa dalam bangunannya.

apakah ada contoh bangunan di Indonesia bergaya post modern? Jika ada beri contoh?

Bangunan tinggi bergaya Mediterania, Romawi klasik, atau Jawa (bila ada) adalah contoh dari bangunan postmodern. Meskipun disini, sekali lagi kita tidak bisa menjamin bahwa arsiteknya sendiri mengerti tentang konsep postmodernisme.

Left image source from www.sewa-apartemen.net

patokan atau pakem untuk membuat bangunan post modern? Apa yang harus dipikirkan dan dilakukan?

Tidak ada pakem atau patokan khusus dalam dunia desain postmodernisme. Yang ada adalah pandangan bahwa disamping fungsi bangunan, kita masih dan sebaiknya mengakomodasi berbagai elemen lain seperti simbolisme, tradisi, dekorasi dan konteks lainnya, seperti konteks sosial budaya. Dengan pandangan seperti ini, bangunan yang dirancang tidak akan kaku dan dapat lebih mengakomodasi kebutuhan maupun sisi manusiawi dari pemakainya dan orang yang melihat bangunan tersebut.

sudah umumkah diterapkan di Indonesia?

Sudah umum, tapi umumnya orang Indonesia tidak mengerti konsep postmodernisme, mungkin yang terlihat adalah bangunan yang lain daripada yang lain, atau bangunan yang terlihat seperti di luar negeri, atau pandangan yang lain. Pada dasarnya banyak arsitek mendesain bangunan postmodernisme, tapi tidak mengerti yang dirancang ataupun jenis metode yang mereka gunakan. Tapi sebagian juga sudah mengerti.

tema atau desain yang mana yang cenderung sudah mendekati post modern?

Tidak ada tema atau jenis desain khusus dalam desain postmodern. Yang harus dilakukan adalah memahami dahulu konsepnya, dan kemudian baru tema bisa muncul. Contohnya, pahami dahulu mengapa kita harus menggunakan pilar gaya Romawi. Menurut dunia postmodern, elemen khusus seperti pilar atau bagian bangunan lain yang memiliki simbolisme dapat dihadirkan dalam rancangan bangunan sebagai bagian untuk melengkapi desain, apakah itu dengan tujuan menghadirkan kesan berwibawa, stabil, atau lainnya. Banyak elemen ditambahkan dalam rancangan bangunan dalam kerangka konsep yang mengakomodasi unsur-unsur yang non-modern itu tadi.

warna yang dominant di bangunan post modern?

Sama seperti tema, tidak ada warna dominan dalam bangunan postmodern.

Apakah gaya post modern bisa disebut desain futuristic?

Tidak semua bangunan postmodern 'terlihat' futuristik. Memang benar, karena bangunan postmodern banyak yang didesain dengan cara yang tidak sama seperti pendahulunya, misalnya bangunan icon postmodern "Pompidou Center" di Paris, dimana semua struktur bangunannya berada diluar dan terlihat futuristik. Contoh lain seperti pyramid kaca karya I.M. Pei di Museum Louvre, atau Guggenheim Museum karya Frank Gehry di Spayol. Kesemuanya tampak futuristik bagi sebagian orang yang melihatnya.

Museo Guggenheim Bilbao
Museum Guggenheim Bilbao, Spanyol. Salah satu icon postmodernisme yang sangat terkenal.

Musée du Louvre (#313)
Museum Louvre, Paris dengan piramid kaca yang didesain oleh I.M. Pei. Bagaimana sebuah piramid kaca bisa hadir dalam lingkup kompleks bangunan bergaya Eropa, dapat dijelaskan melalui pemahaman postmodern, tapi tidak melalui pemahaman modern.

Tapi tidak semuanya seperti itu. Kesan kembali ke masa lampau juga misalnya seperti gedung IT&T yang mengadopsi bentuk arsitektur Romawi pada gedung tinggi. Karena itu, model apartemen bergaya Mediterania atau klasik juga sebenarnya bisa disebut Postmodern, terlepas dari apakah arsiteknya menginginkan seperti itu.

bagaimana dengan penataan interiornya?

Sama seperti desain eksterior bangunan, unsur desain dengan metode modern yang ada dalam desain interior bisa ditambahkan unsur lain yang sifatnya dekoratif, tradisional, simbolik, dan sebagainya lewat dekorasi atau penambahan unsur etnik, misalnya.

Bisa juga desain hybrid, yang menggabungkan desain dengan teknologi tinggi seperti kaca, metal, dan aksesori seperti aksen pencahayaan yang berpusat pada sebuah simbolisme, dekorasi, atau aksen agar ditangkap oleh pengguna interior desain tersebut sebagai desain 'hi-tech'. Ini juga salah satu saja dari metode postmodern.

perbedaan modern dengan post modern?

Modern itu fungsional dan cenderung datar. Postmodern itu bisa mengakomodasi, hybrid, dari berbagai elemen yang sifatnya manusiawi. Pengertian lain bisa bervariasi dari berbagai kritisi dan akademisi. Pengertian ini yang saya miliki. Ada kemungkinan tiap arsitek memiliki bahasa berbeda untuk menjelaskan modern dan postmodern.

adakah tahapan atau cara pengaplikasian post modern dalam hunian?

Ada. Jangan terlalu terpaku pada fungsi ruang atau bangunan semata, karena ini adalah prinsip modern 'less is more', makin sedikit makin banyak. Tapi gunakanlah metode desain yang mengakomodasi cara hidup orang didalamnya, misalnya. Jadi lain dengan developer perumahan yang cenderung men-sama-ratakan cara hidup banyak orang dengan membuat desain yang fungsional dan sama untuk semua orang.

Desain rumah yang memperhatikan bagaimana kebiasaan sehari-hari orang yang hidup didalamnya, misalnya. Atau kebutuhan khusus seperti keinginan untuk mengakomodasi tradisi nenek moyang dalam bentuk aksen dekorasi, atau mungkin keinginan lain yang didasarkan pada teknologi tinggi agar mengakomodasi cara hidup orang didalamnya, misalnya. Adalah contoh sederhana metode desain postmodern.

Karena itu, desain postmodern dalam lingkup sederhana ini diharapkan bisa mengakomodasi hidup penghuninya dengan lebih baik, karena tidak didasarkan pada fungsi bangunan atau ruang semata. Kadangkala kita melihat rumah yang sudah didesain sedemikian rupa, berubah karena tidak sesuai dengan keinginan pemiliknya, baik dalam eksterior maupun interiornya. Desain yang baik harus dapat mengakomodasi perubahan dan minat orang didalamnya. Konsep ini dalam metode postmodern muncul dalam 'neo-vernakular' atau 'neo-organic/wrightian' design.


-- Terimakasih pada mbak Raya dari Koran Sindo atas pertanyaan-pertanyaannya --
________________________________________________

by Probo Hindarto


ENGLISH VERSION: Interview about Postmodern Architecture in daily use in Indonesia

Some time ago, I was contacted by Mbak Raya of Koran Seputar Indonesia for an interview about postmodern architecture. Apparently, the media architecture that examines the architecture for a general audience also got interested in this term. Despite questions raised about his relationship with a known architecture community, I think of it this is the fundamental correlation of public curiosity in philosophy and architecture movement that is often still far from understanding the truth.

Questions about the postmodern world is a little hard to understand. Because this concept is very deep and can be explained if one book alone. There are theorists in the academic world more than I actually know. Because of that, please comment if my opinion if there is a lack of harmony with the theory.

What is the definition of the modern post? Please explain?

To understand about postmodernism, we must understand about 'modernism', because it is essentially a postmodern critical movement against the 'modern'. Modern architecture is a type of architecture which is based on function, the lack of ornamentation, and the removal of decorative elements that are not necessary. For example: pure minimalist architecture is the kind of modern architecture developed. This architecture does not accommodate the decorative element, symbolic or traditional.

Postmodernism is a movement based on a critical view of the modern movement is no longer considered humane or can solve the problems in the modern world itself. In architecture into a new movement to provide flexibility for a variety of design factors that have never covered before in modern architecture in order to appear and accommodated.

Postmodernism is not the architectural style of the title would merely, but more than that, the movement and moral philosophy should be seen as part of the criticism of the theory of modern architecture tends to negate the elements of the human as symbolism, decoration, and the things that its non - functional. This is because modern architecture rigid and rely on perceived function can not provide solutions to the human desire for more freedom of expression.

Expression tends to excess in the construction made the decorations, which are always considered not functional and decorative are usually ignored in modern architecture.


When we pull into Indonesia, the philosophy of postmodernism would be applicable because our society is basically very fond exemption forms decorative and symbolic nature, for example: although the style of house or apartment is a modern use, but often uses ornamentation or decoration, and many its symbolic elements, such as: belief in petungan Java, or Feng Shui. Another example, although the architectural style used is 'minimalist', but actually there are many who tried to ornamentation is displayed, such as decorative trim profile. In the architectural 'modern' is pure, things such as decoration or symbolism that should not be there.
To raise again the values of traditional architecture, can be done berkonstruksi into modern architecture to achieve the values that is understood in the modern world


The characteristics of postmodern architecture? Indicate and give an example? How to form the roof? Pillars? What was highlighted in a post modern style?


In speaking postmodern, we can superficially linked with a form of buildings such as roof forms, the use of pillars, or ornamentation. Even the forms of strange Ex Plaza also be called postmodern. But we can not see it with a superficial understanding, if you want to understand the postmodern.


True that the method of accommodation forms or the symbolism of traditional elements can be classified into the design method in postmodernism, but that does not mean all of which contain traditional roof or strange, Roman-style pillars, and the like can be directly referred to as postmodernity. Without a basic understanding of postmodernism, the work of an architect may be seen as postmodern, but actually he is part of a movement that must be scrutinized again if the method is not fundamental.


The characteristics of postmodern architecture is to accommodate the functions and forms necessary to be present in the design, for example, traditional architecture, symbolism, decoration, and so on. For example, if the architecture of a building full of lines such overlapping bird nest ... may be the architect was to accommodate the form of a bird's nest in the building. If the building design is a Roman-style columns or pillars Java style, but using modern construction, the architect may have been to accommodate the shape and ornamentation of the Roman or Javanese culture in the building.


whether there are examples of Indonesian-style buildings in the modern post? If there is give an example?


Mediterranean-style high-rise buildings, classical Roman, or Java (if any) is an example of postmodern buildings. While here, once again we can not guarantee that the architect himself understood about the concept of postmodernism.


Image source from left-www.sewa apartemen.net


benchmark or standard to make the building a modern post? What to think and do?


There is no specific standard or benchmark in the design world of postmodernism. That there is the view that in addition to the functions of the building, we are still and should accommodate a variety of other elements such as symbolism, traditions, decorations and other contexts, such as socio-cultural context. With this view, the building will be designed not rigid and can better accommodate the needs of both the human side of the wearer and the people who saw the building.


already applied in Indonesia?


It's common, but generally people do not understand the concept of Indonesia postmodernism, perhaps you see the other buildings than the other, or buildings that look like in foreign countries, or other views. Basically a lot of architects to design buildings of postmodernism, but did not know who designed or type of methods they use. But some also have to understand.


themes or designs which tend to have close to a modern post?

There is no theme or type of special design in postmodern design. What to do first is to understand the concept, and then the new themes can emerge. For example, first understand why we should use the Roman-style pillars. According to the postmodern world, the special elements such as columns or parts of other buildings that can be presented in the symbolism of the building as part of the design complements the design, whether it's with the aim to present authoritative impression, stable, or others. Many elements are added in the building design in terms of concept elements to accommodate the non-modern it was.


dominant color in the building of modern post?


Just as the theme, there is no dominant color in a postmodern building.


Is the force could be called postmodern futuristic design?


Not all buildings postmodern 'look' futuristic. It is true, because many postmodern buildings are designed in a way that is not the same as its predecessors, such as building a postmodern icon "Pompidou Center" in Paris, where all structures located outside the building and looks futuristic. Other examples like the glass pyramid works I.M. Pei on the Louvre Museum or the Guggenheim Museum by Frank Gehry in Spayol. All looked futuristic for most people who see it.


Museo Guggenheim Bilbao

Guggenheim Museum Bilbao, Spain. One icon of postmodernism is very famous.


Musée du Louvre (# 313)

Louvre Museum, Paris with a glass pyramid designed by IM Pei. How does a pyramid of glass can be present within the scope of European-style building complex, can be explained through understanding the postmodern, but not through the modern understanding.


But not all like that. Impression back to the past as well as IT & T building that adopts the form of Roman architecture in tall buildings. Therefore, the model apartment or a classic Mediterranean style could also called Postmodern, regardless of whether the architect wanted it.


what about the interior arrangement?


Just like the exterior design of buildings, design elements with modern methods in interior design can be added to other elements in nature decorative, traditional, symbolic, and so on through decoration or addition of ethnic elements, for example.


Can also design hybrid, which combines high-tech design such as glass, metal, and accessories such as accent lighting based on a symbolism, decoration, or an accent that was captured by the user such as interior design design 'hi-tech'. This is just one of the postmodern methods.


modern differences with the modern post?


The modern functional and likely flat. It can accommodate postmodern, hybrid, from the various elements of human nature. Another sense can vary from various critics and academics. This sense that I have. There is a possibility every architect has a different language to describe the modern and postmodern.


is there a stage or how the application of modern post in occupancy?


There. Do not get too fixated on the function room or building only, because this is the modern principle of 'less is more', more less. But use design methods that accommodate the way people lived in it, for example. So the other with housing developers who tend to equal-averaged way of life many people by creating a functional design and the same for all people.

Design houses to see how the daily habits of people who live in it, for example. Or special needs like the desire to accommodate the ancestral tradition in the form of decorative accent, or perhaps other desires that are based on high technology in order to accommodate the way people lived in it, for example. Is a simple example of postmodern design methods.

Therefore, postmodern design in this simple scope is expected to accommodate the residents live better, because it is not based on the function of the building or room only. Sometimes we see the house that was designed in such a way, because it does not change according to the owner desires, both in exterior and interior. A good design should be able to accommodate change and interest in it. This concept emerged in the postmodern method of 'neo-vernacular' or 'neo-organic/wrightian'
design.


Yang Masih Tersisa dari Bangunan Stasiun Semut

Yang Masih Tersisa dari Bangunan Stasiun Semut

June 7th, 2003

DENGAN perasaan sangat prihatin dan hanya bisa mengelus dada menyikapi ketamakan manusia yang sudah tidak peduli lagi dengan sejarah masa lalu. Di negara mana pun tempat-tempat bersejarah selalu dipelihara dengan baik, museum menjadi tempat yang ramai dikunjungi.

SANGAT mengherankan apabila kemudian melihat cagar budaya yang usianya lebih dari 100 tahun “digerilya” untuk dijadikan tempat bisnis. Stasiun Semut pasti dikenal setiap orang yang pernah tinggal di Surabaya, sekalipun PT KAI sekarang tidak mampu lagi menghidupkan sebagai tempat bisnis kereta api.

Bahkan kesan kuno dan kusam sangat tampak pada wajah depan dari stasiun yang juga dikenal sebagai Stasiun Surabaya Kota. Berita penjarahan bagian dalam stasiun kuno ini memperlihatkan, betapa tidak pedulinya bangsa ini dengan peninggalan berharga.

Pembongkaran untuk dijadikan ruko adalah alasan yang sangat sederhana, sekadar memenuhi keinginan mendapatkan uang secara cepat. Sekalipun tidak terlihat dari wajah depannya, namun pembongkaran itu hanya menyisakan bongkahan sisa dinding batu yang belum dirobohkan, sejumlah pintu dan kusen berwarna abu-abu kusam di bagian depan dan belakang stasiun.

Pintu serta bingkai jendela di dalam gedung itu sudah raib, atap sejumlah ruangan juga tidak ada lagi. Demikian pula atap peron yang tinggal kerangka besinya. Bahkan gagang pintu sekalipun sudah menghilang. Hanya tertinggal satu buah gagang pintu di salah satu pintu belakang stasiun.

Stasiun Semut yang pernah menjadi salah satu pusat kesibukan di Kota Surabaya dan bagian sejarah panjang perjalanan sebuah Kota Surabaya kini seolah telanjang. Akan jauh lebih berharga kalau stasiun ini dijadikan museum “hidup” untuk memperlihatkan kekayaan masa lalu, sekaligus mempertahankan kereta-kereta lama yang cenderung dijual sebagai besi rongsokan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda cagar Budaya dan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 tidak lagi dihiraukan.

“SAYA sebenarnya sangat eman kalau stasiun ini dibongkar. Ini kan benda cagar budaya dan bangunannya juga bagus dan kuat. Seperti atap seng stasiun yang sudah diambili, saya yakin sampai dengan tiga sampai empat keturunan saya pasti masih akan bertahan,” ujar seorang pria yang bekerja sebagai staf PT Kereta Api Indonesia di tempat tersebut.

Ia mendongakkan kepala ke atas, menantang terik Matahari yang menyiram area bekas peron itu. Mungkin ia juga hanya bisa berkata dalam hati, siapa yang begitu tega melakukan semua ini?

Petugas yang telah 23 tahun bekerja di Stasiun Semut itu tampaknya hanya bisa mengeluh. Apa yang akan dia tunjukkan kepada anak cucunya sebagai bukti pengabdiannya terhadap pekerjaan yang dicintainya itu.

Pria lulusan Sekolah Teknik (sederajat SLTP) itu hanya mengetahui, rencananya pembongkaran dimulai pada 17 Maret, tetapi kemudian diundur hingga awal April. Selama dua-tiga bulan ini pembongkaran dimulai. Dimulai dari bangunan bagian belakang sehingga pekerjaan besar itu tidak terlalu terlihat.

Seng-seng diangkuti, tembok-tembok pemisah dan atap ruangan bagian dalam dihancurkan, kusen dan bingkai pintu dilepas dari dinding bangunan, atap peron pun juga diturunkan. Padahal, kalau pemerintah sekarang disuruh membangun lagi dengan kualitas yang sama rasanya kok tidak akan mampu.

Selain itu pembongkaran tersebut diikuti juga dengan penjarahan oleh sejumlah orang. Seperti dikatakan petugas PT KAI tersebut. Tanpa perlu perintah, marmer-marmer yang menghiasi separuh dinding sepanjang hampir 150 meter di bagian belakang stasiun dicungkili sehingga menampakkan plesteran semennya saja.

Kayu-kayu jati zaman Belanda yang masih sangat berharga ikut dijarah. Gagang pintu antik di pintu-pintu bagian belakang pintu itu juga tak luput jadi korban.

Penjarahan ini juga dibenarkan oleh Dilah (30), perempuan pedagang nasi di dekat lokasi tersebut. “Barang-barang kuno seperti kayu jati dan besinya laku mahal kalau dijual, mbak,” ujar perempuan yang berjualan sejak dua bulan belakangan.

Seperti halnya petugas di stasiun tersebut, ia juga menyesalkan kalau bangunan itu terpaksa dibongkar. “Yang saya tahu, ini bangunan peninggalan Belanda. Gedungnya sebenarnya bagus, tinggal diperbaiki sedikit,” ujar perempuan yang mengaku tidak pernah mengecap bangku sekolah itu.

Padahal di tengah keruntuhannya, stasiun tersebut masih menjalankan sebagian tugasnya. Dikatakan petugas pria di PT KAI itu, setiap hari sekitar 22 kereta datang dan dalam jumlah yang sama berangkat dari jalur rel di stasiun tersebut sebelum menjemput penumpang di stasiun lain.

Kereta api juga masih menurunkan penumpang di stasiun itu sehingga satu-dua orang pekerja pengangkut barang masih berkeliaran di sana.

“Memang kalau membeli karcis atau naik harus ke stasiun lain, meski masih banyak yang turun di sini sampai sekarang. Karena gelap, di waktu malam tak jarang ada penumpang jatuh atau dicopet,” ujar pria itu. Di atas rel-rel Stasiun Semut, aktivitas penyambungan gerbong di tempat itu masih berjalan.

BARANGKALI petugas di stasiun tersebut dan ibu pedagang nasi itu berbicara tentang saksi sejarah sebuah kota dalam bahasa mereka yang sederhana.

Apa yang dituturkan oleh Dukut Imam Widodo dalam bukunya Soerabaia Tempoe Doloe dapat memberikan gambaran betapa Stasiun Semut merupakan bagian tak terpisah dari denyut Kota Surabaya. Menjadi bagian kenangan ketika lokomotif hitam mendengus-dengus dan uap yang menyembur- nyembur dari cerobong menemani perjalanan warga kota saat itu.

Dukut menuliskan, berdasarkan Undang-Undang tertanggal 6 April 1875 Staatsblad No 141 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun jaringan jalur kereta di Jawa dengan biaya dari pemerintah dan diberi nama staats spoorweg (SS).

Pada tahun 1875 dimulailah pembangunan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang. Stasiun Surabaya Kota yang terletak di kawasan bisnis penting dijadikan pedoman bagi permulaan kedua jalur tersebut.

Spoorstation Semoet atau Stasiun Semut diresmikan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal JW Van Lasberge tahun 1878, bertepatan dengan dibukanya jalur Surabaya-Pasuruan.

Saat itu jalur Surabaya-Pasuruan dianggap sangat penting lantaran di Umbulan terdapat sumber air yang sangat besar. Pasokan air dari Umbulan ke Surabaya itu diangkut menggunakan kereta api.

Pada masa itu Stasiun Semut merupakan salah satu dari dua stasiun yang terkenal di Kota Surabaya tempo dulu. Lainnya adalah stasiun Pasar Turi.

Stasiun ini merupakan bagian dari jalur selatan yang melayani rute Surabaya-Solo-Yogyakarta, Tasikmalaya, Bandung, dan Jakarta.

Ketika itu jalur Jakarta-Surabaya masih ditempuh dengan perjalanan selama tiga hari. Begitu malam tiba, kereta berhenti dan penumpang menginap di hotel-hotel untuk melanjutkan perjalanannya keesokan harinya. Entah sudah berapa orang yang datang dan pergi dari stasiun tersebut.

Sebenarnya, dituliskan Dukut, Kota Surabaya pada zaman itu dapat disebut sebagai Kota Sepur lantaran memiliki empat stasiun yang besar, yakni Wonokromo, Gubeng, Pasar Turi, dan Semut yang kini semakin tidak jelas nasibnya. Ia menyayangkan Kota Surabaya tidak memiliki Museum Kereta Api. Bahkan, bangunan bersejarah Stasiun Semut kini terancam roboh.

SUGENG Gunadi, anggota Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS?) sekaligus anggota Tim Pertimbangan Pelestarian Cagar Budaya Pemerintah Kota Surabaya, mengatakan, menghancurkan bangunan-bangunan cagar budaya tersebut berarti juga menghancurkan identitas sebuah kota.

“Bahkan, kota-kota besar di Jerman dan Roma yang moderen dalam pembangunannya tidak lantas menggilas bangunan kuno yang mereka miliki. Sehingga jika berkunjung tetap dapat menikmati puing-puing sisa peninggalan Kerajaan Romawi di sana yang hanya berupa pilar-pilar atau serakan puing-puing yang dirawat dengan baik. Demikian juga Malaysia yang merawat bangunan peninggalan masa koloni Inggris di sana dengan sangat baik,” paparnya.

Selain itu, bangunan bersejarah mengandung unsur pendidikan. Ia dapat menjadi laboratorium hidup bagi generasi selanjutnya dalam mempelajari berbagai hal, mulai dari fisik bangunan hingga nilai sejarahnya. Ujungnya, pemeliharaan terhadap bangunan tersebut akan menguntungkan dari segi pariwisata.

Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra Timoticin Kwanda menambahkan, pengalihfungsian menjadi rumah toko dapat dilakukan melalui adaptasi dengan bangunan lama.

Untuk kasus stasiun kota misalnya, dapat dilakukan adaptasi. Tampak depan atau wajah bangunan tidak diubah, namun bagian dalam dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Penambahan bangunan dapat dilakukan dengan menyesuaikan desain dengan bangunan lama. Hotel Ibis misalnya, dapat menjadi contoh yang baik di Surabaya.

Dalam upaya pembangunan yang ramah terhadap bangunan cagar budaya, dikatakan Timoticin, Surabaya masih tertinggal dibandingkan dengan Jakarta yang juga kaya akan bangunan cagar budaya.

Sebagai contoh adalah adaptasi bangunan cagar budaya galangan kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Jalan Kakap, Jakarta Utara, menjadi sebuah restoran mewah yang kini ramai dikunjungi.

“Kondisi Galangan VOC saat itu jauh lebih parah daripada Stasiun Semut. Tetapi dengan komitmen dari pengusahanya, itu dapat diwujudkan,” katanya. Bahkan, kini restoran tersebut mempunyai kelasnya tersendiri yang tidak mungkin disaingi oleh restoran mana pun, seperti juga sejarah yang terkandung didalamnya tidak dapat dibeli dengan uang berapa pun.

Untuk sementara, PT KAI memutuskan untuk menunda pembongkaran gudang. Namun, itu belum berarti akan menyelamatkan situs bersejarah tersebut. Butuh beban moral untuk mempertahankan bangunan yang pernah menjadi bagian dari geliat Kota Surabaya tersebut..

Yang Masih Tersisa dari Bangunan Stasiun Semut Video:



Jangan Sampai Dijadikan Lokasi Perjudian - Menyelamatkan Toko Merah

Jangan Sampai Dijadikan Lokasi Perjudian - Menyelamatkan Toko Merah

Monday, July 21st, 2003

JAKARTA-Memerangi praktik perjudian, khususnya di Jakarta dan di wilayah lain pada umumnya, memang kedengarannya merupakan mission impossible alias suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Pengamat-pengamat masalah sosial atau bahkan masyarakat awam sendiri bila ditanya perihal perjudian akan berkata, ”Itu kesalahan pemerintah yang seringkali menjadi munafik kalau bicara tentang judi dan prostitusi, padahal kalau dilokalisasi dengan benar bisa mendatangkan sumber pajak yang besar untuk negara.”

Masih segar dalam ingatan kita mengenai perdebatan di kalangan anggota Dewan maupun pemerintahan mengenai upaya untuk melegalkan dan melokalisasi praktik perjudian di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu sampai pada akhirnya rencana itu sendiri ”tutup buku” karena banyak yang menentang.

Praktik perjudian kemudian terus tumbuh dengan beragam bentuk dan jenisnya sampai di pelosok-pelosok Jakarta. Lebih parahnya lagi, sekelompok orang yang mempunyai modal besar kemudian berusaha menggunakan bangunan tua yang notabene merupakan gedung cagar budaya sebagai sarang untuk membangun kerajaan judinya.

Fakta inilah yang ditemukan SH ketika melihat Toko Merah yang merupakan satu-satunya bekas rumah tinggal elite di zaman kejayaan VOC, yang paling utuh dan terawat sampai saat ini. Dari pengamatan SH, gedung yang terletak di Jalan Kalibesar Barat No. 11, Jakarta Barat, dalam proses pembangunan dan pengalihfungsian menjadi lokasi judi. Hal ini terlihat dari meja-meja judi yang sudah tersusun di lantai dasar. Selain itu pekerja-pekerja juga terlihat sibuk membuat meja-meja judi yang baru.

Seperti yang diketahui, Toko Merah merupakan gedung cagar budaya yang masuk klasifikasi A. Artinya tidak dapat diubah sedikit pun baik di bagian dalam maupun luar bangunannya.
Buntut dari fenomena ini kemudian muncul kritik dari kalangan pemerhati gedung-gedung kuno maupun dari kalangan Pemda DKI untuk mengimbau agar usaha untuk membangun lokasi perjudian di Toko Merah segera dihentikan.

”Kita akan mengecek kebenaran informasi tersebut. Jikalau benar kita akan lakukan tindakan untuk menghentikannya,” ujar Gubernur Sutiyoso seperti yang dilansir harian ini beberapa hari sebelumnya.

Kritikan yang sama juga disampaikan Pater A. Heuken SJ, pemerhati sekaligus penulis buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Ia mengatakan memang dalam kenyataannya satu per satu gedung bersejarah di kota Jakarta sudah beralih fungsi menjadi tempat hiburan termasuk perjudian. Kenyataan ini, menurut Romo Heuken, akan sangat memperihatinkan dan sebaiknya pemerintah segera melakukan tindakan yang lebih proaktif untuk menyelamatkan gedung-gedung tua bersejarah.

Dijadikan Museum
Perihal usaha Toko Merah yang akan dijadikan sebagai lokasi perjudian, Thomas Ataladjar, salah satu staf PT Dharma Niaga yang bertanggung jawab untuk mengelola gedung ini mengatakan bahwa Toko Merah sebagai salah satu aset Badan Usaha Milik Nagara sebenarnya diusulkan untuk dipertimbangkan menjadi sebuah Museum Pelayaran dan Perdagangan. Karena dalam sejarahnya, pemakaian gedung Toko Merah sering digunakan menjadi gedung perkantoran untuk usaha industri, perdagangan ekspor maupun impor.

”Itulah target kita ke depan untuk Toko Merah. Makanya saya terkejut sekali dan baru tahu dari Saudara kalau bangunan itu mau dijadikan tempat judi. Toko Merah merupakan bukti bangunan bersejarah yang harus selalu dijaga dan diperhatikan. Mengenai Toko Merah sudah saya sampaikan ke Ratu Beatrix. Kalau seandainya dia mau melihat Toko Merah apa jadinya,” ujar Thomas Ataladjar, kepada SH.

Toko Merah merupakan salah satu dari 216 monumen cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta yang dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff Willem Baron van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, sebagai rumah tinggal yang kembar sifatnya. Selanjutnya, Toko Merah kemudian seringkali digunakan menjadi tempat penginapan bahkan perkantoran hingga saat ini.
Asal-usul sebutan Toko Merah sendiri memiliki kisah panjang. Namun, nama resmi yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta bagi bangunan tua ini adalah Toko Merah.
Sebelumnya, gedung tersebut pernah bernama Hoofd Kantoor Jacobson van den Berg. Dinamakan demikian karena digunakan sebagai gedung kantor pusat dari NV. Jacobson van den Berg, salah satu perusahaan the big five milik Belanda yang pernah jaya di zamannya.
Namun ternyata, nama Toko Merah telah jauh lebih populer. Hampir semua kepustakaan Belanda yang menulis mengenai Batavia Lama dan menyinggung mengenai tata bangunan era VOC menggunakan sebutan Toko Merah dan bukan Red Shop dalam bahasa Inggris atau Rode Winkel dalam bahasa Belandanya.

Awal penggunaan nama Toko Merah bagi gedung tua ini bermula pada salah satu fungsi yang diembannya sebagai sebuah toko milik seorang warga Cina. Tepatnya pada tahun 1851, seorang warga Cina, Oey Liauw Kong menjadi pemilik bangunan ini dan menjadikannya sebagai rumah toko (ruko).

Hal ini memberi pengaruh arsitektur Cina yang kental. Tembok depan bangunan yang terbuat dari susunan batu bata yang tidak diplester kemudian dicat dengan warna merah hati ayam.
Karena warnanya itulah, bangunan tua tersebut lebih populer dengan sebutan Toko Merah. Toko Merah, menurut Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta, kualitas arsitekturnya bisa dikatakan yang terbaik di antara bangunan-bangunan bersejarah di DKI Jakarta.

Melindungi Toko Merah
Begitu berharganya nilai sejarah bangunan ini, maka pemeritahan terdahulu berusaha mengeluarkan peratuan-peraturan untuk melindungi dan melestarikan Toko Merah dan gedung-gedung bersejarah lainnya secara umum di wilayah DKI Jakarta.

Sebagai contoh, sejak pemerintahan kolonial Belanda, bangunan tua dan bersejarah telah diupayakan untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya terutama nilai-nilai sejarahnya, seni dan budayanya dengan dikeluarkannya Monumenten Ordonantie tahun 1931 (Staatsblad No. 238/1931) dan telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 thaun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 No. 515).

Upaya yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta pada masa itu Ali sadikin yang sangat concern dengan bangunan-bangunan kuno di DKI Jakarta. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.cb.11/1/12/72, tanggal 10 Januari 1972 yang intinya menetapkan tentang pemugaran dan pelestarian bangunan-bangunan kuno yang bersejarah.

Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya, usaha pemerintah pada masa terdahulu ternyata hanya berlaku pada masa itu saja. Kenyataannya satu per satu bangunan bersejarah mulai hilang ditelan pembangunan kota.

Tak satu pun yang dapat menunjukkan di mana keberadaan bangunan Kastil Batavia, Hotel Des Indes, Societat Harmonie. Semua bangunan tua yang disebutkan itu sudah hilang tanpa bekas, rata dengan tanah.

Akankah Toko Merah dan bangunan-bangunan bersejarah lainnya akan bernasib sama? Hanya pemerintah dan kesadaran masyarakat akan nilai sejarah yang mampu menjawabnya. (SH/rafael sebayang)

Sumber: Sinar Harapan, 21 Juli 2003

Empat Bangunan Tua di Kawasan Kota Direnovasi

Monday, June 23rd, 2003

Jakarta, Kompas - Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-476 Kota Jakarta, panitia JakArt@2003 mempunyai agenda merenovasi empat bangunan berusia sekitar dua abad di Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Upaya renovasi dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali Kota Tua yang “mati” dan seolah terlupakan.

Salah satu bangunan yang saat ini tengah direnovasi adalah bekas kantor Bank Bumi Daya di Jalan Kali Besar Barat. Khusus bangunan ini, panitia JakArt@2003 bekerja sama dengan Standard Chartered Bank dan Bank Mandiri. Tiga bangunan di Jalan Kali Besar Timur adalah Gedung Kota Bawah yang nantinya akan dijadikan arena pergulatan seni dan budaya, juga gedung-gedung yang saat ini masih digunakan untuk kantor.

Renovasi empat bangunan tua tersebut merupakan bagian dari Festival Kali Besar yang telah diselenggarakan sejak tanggal 1 Juni lalu oleh Sukarelawan JakArt.

Tujuan utama renovasi adalah menunjukkan kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI bahwa daerah Kali Besar yang telah dilupakan orang ternyata masih memiliki potensi budaya dan nilai sejarah yang bermakna dalam industri pariwisata.

Menurut Koordinator Arsitektur JakArt@2003 Imron Yusuf, renovasi bangunan tua tersebut meliputi dua bagian, yaitu interior dan eksterior. “Hanya sedikit bangunan tua di kawasan Kota ini yang terawat rapi dan bersih. Kebanyakan semrawut. Kota tua menjadi satu kawasan yang terlupakan,” katanya, Minggu (22/6).

Saat ini, sebagian bangunan di Jalan Kali Besar sedang dicat ulang menggunakan cat nonakrilik yang merupakan campuran kapur, singkong, dan air. “Dulu, karena belum ada semen, bangunan memakai plester. Dengan bahan itu, air bisa bernapas, masuk ke pori-pori dan bisa keluar lagi. Jika menggunakan cat akrilik, air tidak akan bisa bernapas sehingga bangunan mudah rapuh. Ini yang sering kurang dipahami pihak-pihak yang menggunakan bangunan tua di sini. Untuk syuting sinetron, misalnya, para kru sering mengecat sembarangan,” kata Imron.

Standard Chartered

Menurut Chief Executive Officer Standard Chartered Stewart D Hall, bangunan bekas Bank Bumi Daya itu pernah menjadi kantor Standard Chartered hingga tahun 1960-an. “Gedung itu luar biasa, karakternya kuat, dan terletak di kawasan bersejarah pada Oud Batavia. Kawasan Kota ini mempunyai potensi budaya dan sejarah yang kuat untuk dikembangkan. Juga untuk tempat komersial dan perdagangan,” katanya.

Menurut rencana, renovasi bangunan berlantai tiga dengan luas lantai dasarnya mendekati 1.000 meter persegi itu akan selesai sebelum September tahun ini.

Imron Yusuf mengatakan, Gedung Kota Bawah nantinya akan dijadikan pusat budaya dan seni pertunjukan. “Setelah kami renovasi, nantinya gedung itu, kalau bisa, dijadikan tempat untuk pameran, pertunjukan teater dan musik, dan lain- lain sehingga kawasan Kota menjadi hidup,” katanya.

Komite JakArt@2003 Ahmad Djuhara menambahkan, bangunan yang dulu pernah dipakai Standard Chartered adalah contoh sangat baik untuk menggambarkan satu jejak sejarah kota.

Kompas mencatat, gagasan untuk merevitalisasi kawasan Kota seluas 139 hektar di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tersebut sudah bergulir lama, yaitu pada tahun 1970-an. Tahun 1972-1974, ketika Jakarta dipimpin Ali Sadikin, beberapa bangunan dipugar, yaitu Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Gedung Joang 45, Museum Sumpah Pemuda, dan gedung lain. Namun, pemugaran dan revitalisasi itu kemudian terhenti hingga sekarang. (IVV)

Sumber: Kompas, 23 Juni 2003

Yang Masih Tersisa dari Bangunan Stasiun Semut

Saturday, June 7th, 2003

DENGAN perasaan sangat prihatin dan hanya bisa mengelus dada menyikapi ketamakan manusia yang sudah tidak peduli lagi dengan sejarah masa lalu. Di negara mana pun tempat-tempat bersejarah selalu dipelihara dengan baik, museum menjadi tempat yang ramai dikunjungi.

SANGAT mengherankan apabila kemudian melihat cagar budaya yang usianya lebih dari 100 tahun “digerilya” untuk dijadikan tempat bisnis. Stasiun Semut pasti dikenal setiap orang yang pernah tinggal di Surabaya, sekalipun PT KAI sekarang tidak mampu lagi menghidupkan sebagai tempat bisnis kereta api.

Bahkan kesan kuno dan kusam sangat tampak pada wajah depan dari stasiun yang juga dikenal sebagai Stasiun Surabaya Kota. Berita penjarahan bagian dalam stasiun kuno ini memperlihatkan, betapa tidak pedulinya bangsa ini dengan peninggalan berharga.

Pembongkaran untuk dijadikan ruko adalah alasan yang sangat sederhana, sekadar memenuhi keinginan mendapatkan uang secara cepat. Sekalipun tidak terlihat dari wajah depannya, namun pembongkaran itu hanya menyisakan bongkahan sisa dinding batu yang belum dirobohkan, sejumlah pintu dan kusen berwarna abu-abu kusam di bagian depan dan belakang stasiun.

Pintu serta bingkai jendela di dalam gedung itu sudah raib, atap sejumlah ruangan juga tidak ada lagi. Demikian pula atap peron yang tinggal kerangka besinya. Bahkan gagang pintu sekalipun sudah menghilang. Hanya tertinggal satu buah gagang pintu di salah satu pintu belakang stasiun.

Stasiun Semut yang pernah menjadi salah satu pusat kesibukan di Kota Surabaya dan bagian sejarah panjang perjalanan sebuah Kota Surabaya kini seolah telanjang. Akan jauh lebih berharga kalau stasiun ini dijadikan museum “hidup” untuk memperlihatkan kekayaan masa lalu, sekaligus mempertahankan kereta-kereta lama yang cenderung dijual sebagai besi rongsokan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda cagar Budaya dan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 tidak lagi dihiraukan.

“SAYA sebenarnya sangat eman kalau stasiun ini dibongkar. Ini kan benda cagar budaya dan bangunannya juga bagus dan kuat. Seperti atap seng stasiun yang sudah diambili, saya yakin sampai dengan tiga sampai empat keturunan saya pasti masih akan bertahan,” ujar seorang pria yang bekerja sebagai staf PT Kereta Api Indonesia di tempat tersebut.

Ia mendongakkan kepala ke atas, menantang terik Matahari yang menyiram area bekas peron itu. Mungkin ia juga hanya bisa berkata dalam hati, siapa yang begitu tega melakukan semua ini?

Petugas yang telah 23 tahun bekerja di Stasiun Semut itu tampaknya hanya bisa mengeluh. Apa yang akan dia tunjukkan kepada anak cucunya sebagai bukti pengabdiannya terhadap pekerjaan yang dicintainya itu.

Pria lulusan Sekolah Teknik (sederajat SLTP) itu hanya mengetahui, rencananya pembongkaran dimulai pada 17 Maret, tetapi kemudian diundur hingga awal April. Selama dua-tiga bulan ini pembongkaran dimulai. Dimulai dari bangunan bagian belakang sehingga pekerjaan besar itu tidak terlalu terlihat.

Seng-seng diangkuti, tembok-tembok pemisah dan atap ruangan bagian dalam dihancurkan, kusen dan bingkai pintu dilepas dari dinding bangunan, atap peron pun juga diturunkan. Padahal, kalau pemerintah sekarang disuruh membangun lagi dengan kualitas yang sama rasanya kok tidak akan mampu.

Selain itu pembongkaran tersebut diikuti juga dengan penjarahan oleh sejumlah orang. Seperti dikatakan petugas PT KAI tersebut. Tanpa perlu perintah, marmer-marmer yang menghiasi separuh dinding sepanjang hampir 150 meter di bagian belakang stasiun dicungkili sehingga menampakkan plesteran semennya saja.

Kayu-kayu jati zaman Belanda yang masih sangat berharga ikut dijarah. Gagang pintu antik di pintu-pintu bagian belakang pintu itu juga tak luput jadi korban.

Penjarahan ini juga dibenarkan oleh Dilah (30), perempuan pedagang nasi di dekat lokasi tersebut. “Barang-barang kuno seperti kayu jati dan besinya laku mahal kalau dijual, mbak,” ujar perempuan yang berjualan sejak dua bulan belakangan.

Seperti halnya petugas di stasiun tersebut, ia juga menyesalkan kalau bangunan itu terpaksa dibongkar. “Yang saya tahu, ini bangunan peninggalan Belanda. Gedungnya sebenarnya bagus, tinggal diperbaiki sedikit,” ujar perempuan yang mengaku tidak pernah mengecap bangku sekolah itu.

Padahal di tengah keruntuhannya, stasiun tersebut masih menjalankan sebagian tugasnya. Dikatakan petugas pria di PT KAI itu, setiap hari sekitar 22 kereta datang dan dalam jumlah yang sama berangkat dari jalur rel di stasiun tersebut sebelum menjemput penumpang di stasiun lain.

Kereta api juga masih menurunkan penumpang di stasiun itu sehingga satu-dua orang pekerja pengangkut barang masih berkeliaran di sana.

“Memang kalau membeli karcis atau naik harus ke stasiun lain, meski masih banyak yang turun di sini sampai sekarang. Karena gelap, di waktu malam tak jarang ada penumpang jatuh atau dicopet,” ujar pria itu. Di atas rel-rel Stasiun Semut, aktivitas penyambungan gerbong di tempat itu masih berjalan.

BARANGKALI petugas di stasiun tersebut dan ibu pedagang nasi itu berbicara tentang saksi sejarah sebuah kota dalam bahasa mereka yang sederhana.

Apa yang dituturkan oleh Dukut Imam Widodo dalam bukunya Soerabaia Tempoe Doloe dapat memberikan gambaran betapa Stasiun Semut merupakan bagian tak terpisah dari denyut Kota Surabaya. Menjadi bagian kenangan ketika lokomotif hitam mendengus-dengus dan uap yang menyembur- nyembur dari cerobong menemani perjalanan warga kota saat itu.

Dukut menuliskan, berdasarkan Undang-Undang tertanggal 6 April 1875 Staatsblad No 141 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun jaringan jalur kereta di Jawa dengan biaya dari pemerintah dan diberi nama staats spoorweg (SS).

Pada tahun 1875 dimulailah pembangunan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang. Stasiun Surabaya Kota yang terletak di kawasan bisnis penting dijadikan pedoman bagi permulaan kedua jalur tersebut.

Spoorstation Semoet atau Stasiun Semut diresmikan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal JW Van Lasberge tahun 1878, bertepatan dengan dibukanya jalur Surabaya-Pasuruan.

Saat itu jalur Surabaya-Pasuruan dianggap sangat penting lantaran di Umbulan terdapat sumber air yang sangat besar. Pasokan air dari Umbulan ke Surabaya itu diangkut menggunakan kereta api.

Pada masa itu Stasiun Semut merupakan salah satu dari dua stasiun yang terkenal di Kota Surabaya tempo dulu. Lainnya adalah stasiun Pasar Turi.

Stasiun ini merupakan bagian dari jalur selatan yang melayani rute Surabaya-Solo-Yogyakarta, Tasikmalaya, Bandung, dan Jakarta.

Ketika itu jalur Jakarta-Surabaya masih ditempuh dengan perjalanan selama tiga hari. Begitu malam tiba, kereta berhenti dan penumpang menginap di hotel-hotel untuk melanjutkan perjalanannya keesokan harinya. Entah sudah berapa orang yang datang dan pergi dari stasiun tersebut.

Sebenarnya, dituliskan Dukut, Kota Surabaya pada zaman itu dapat disebut sebagai Kota Sepur lantaran memiliki empat stasiun yang besar, yakni Wonokromo, Gubeng, Pasar Turi, dan Semut yang kini semakin tidak jelas nasibnya. Ia menyayangkan Kota Surabaya tidak memiliki Museum Kereta Api. Bahkan, bangunan bersejarah Stasiun Semut kini terancam roboh.

SUGENG Gunadi, anggota Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS?) sekaligus anggota Tim Pertimbangan Pelestarian Cagar Budaya Pemerintah Kota Surabaya, mengatakan, menghancurkan bangunan-bangunan cagar budaya tersebut berarti juga menghancurkan identitas sebuah kota.

“Bahkan, kota-kota besar di Jerman dan Roma yang moderen dalam pembangunannya tidak lantas menggilas bangunan kuno yang mereka miliki. Sehingga jika berkunjung tetap dapat menikmati puing-puing sisa peninggalan Kerajaan Romawi di sana yang hanya berupa pilar-pilar atau serakan puing-puing yang dirawat dengan baik. Demikian juga Malaysia yang merawat bangunan peninggalan masa koloni Inggris di sana dengan sangat baik,” paparnya.

Selain itu, bangunan bersejarah mengandung unsur pendidikan. Ia dapat menjadi laboratorium hidup bagi generasi selanjutnya dalam mempelajari berbagai hal, mulai dari fisik bangunan hingga nilai sejarahnya. Ujungnya, pemeliharaan terhadap bangunan tersebut akan menguntungkan dari segi pariwisata.

Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra Timoticin Kwanda menambahkan, pengalihfungsian menjadi rumah toko dapat dilakukan melalui adaptasi dengan bangunan lama.

Untuk kasus stasiun kota misalnya, dapat dilakukan adaptasi. Tampak depan atau wajah bangunan tidak diubah, namun bagian dalam dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Penambahan bangunan dapat dilakukan dengan menyesuaikan desain dengan bangunan lama. Hotel Ibis misalnya, dapat menjadi contoh yang baik di Surabaya.

Dalam upaya pembangunan yang ramah terhadap bangunan cagar budaya, dikatakan Timoticin, Surabaya masih tertinggal dibandingkan dengan Jakarta yang juga kaya akan bangunan cagar budaya.

Sebagai contoh adalah adaptasi bangunan cagar budaya galangan kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Jalan Kakap, Jakarta Utara, menjadi sebuah restoran mewah yang kini ramai dikunjungi.

“Kondisi Galangan VOC saat itu jauh lebih parah daripada Stasiun Semut. Tetapi dengan komitmen dari pengusahanya, itu dapat diwujudkan,” katanya. Bahkan, kini restoran tersebut mempunyai kelasnya tersendiri yang tidak mungkin disaingi oleh restoran mana pun, seperti juga sejarah yang terkandung didalamnya tidak dapat dibeli dengan uang berapa pun.

Untuk sementara, PT KAI memutuskan untuk menunda pembongkaran gudang. Namun, itu belum berarti akan menyelamatkan situs bersejarah tersebut. Butuh beban moral untuk mempertahankan bangunan yang pernah menjadi bagian dari geliat Kota Surabaya tersebut.(Indira Permanasari)

Sumber: Harian Kompas, Sabtu 07 Juni 2003

Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Prof.Ir.Eko Budiharjo, MSc

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di setiap daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai suatu bentuk kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan yang tetap dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.

Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian kuat mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, masihkan aturan-aturan yang bersumber dari
kebudayaan setempat tersebut diikuti?. Adalah suatu kondisi alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Masyarakat Kudus mungkin merupakan satu kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih memegang ciri kebudayaannya sebagai masyarakat pedagang santri dalam kehidupan kesehariannya. Mata pencaharian sebagai pedagang atau pengusaha serta kesalehannya sebagai umat muslim sangat mewarnai kehidupannya. Karakter kebudayaan yang khas tersebut juga ditemui pada rumah tradisionalnya yang biasa disebut Joglo Pencu. Pada saat ini rumah pencu tersebut sudah mulai jarang ditemui. Sebagian hilang karena di dijual, sebagian berubah karena rusak atau karena mengikuti model dan material baru. Adalah satu hal yang menarik mengetahui gambaran masyarakat Kudus dibalik kemegahan bentuk fisik rumah tinggalnya serta perkembangannya dari masa ke masa.

2. Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas dan pengertiannya tergantung dari bidang, tujuan bahasan atau penelitian tentang kebudayaan tersebut dilakukan. Terdapat konsep kebudayaan yang bersifat materiel, yang dilawankan dengan kebudayaan yang bersifat idiel atau konsep yang mencakup keduanya. A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto, 1997) secara lengkap menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat (2005) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang didapatkannya melalui belajar. Dengan mengkaji lingkungan alam tempat tinggalnya, menyesuaikan diri dan mencoba menarik manfaatnya.

Menurut wujud atau bentuknya kebudayaan dibagi dari yang abstrak sampai ke yang kasat. JJ. Honigman dalam Koentjaraningrat (2005) membagi wujud kebudayaan tersebut dalam 3 bagian, yakni: Sistem Kebudayaan (Cultural System) yang bersifat abstrak berupa nilai atau pandangan hidup, Sistem Sosial (Sosial system) yang berupa pola kegiatan yang sifatnya lebih konkrit serta Kebudayaan Fisik (Physical Culture) berupa peralatan, perabot dan bangunan yang sifatnya paling konkrit. Masing-masing bentuk kebudayaan tersebut berkaitan erat satu sama lain.

Pada semua kebudayaan terdapat unsur-unsur yang selalu ada yang dikategorikan dalam tujuh unsur kebudayaan meliputi: Sistem Religi dan Upacara Keagamaan, Sistim dan Organisasi Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem Mata Pencaharian serta Sistem
Teknologi (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2005). Unsur budaya tersebut merujuk pada macam atau tema kebudayaan. Sifat unsur kebudayaan tersebut universal, artinya pada kebudayaan apapun ketujuh unsur tersebut ada, hanya komposisinya saja yang akan berbeda. Komposisi inilah yang akan memberikan karakter pada suatu kebudayaan.

3. Perubahan Kebudayaan

Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti tetapi mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses adaptasi dan belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih baik. Dengan perubahan tersebut waktu dalam arti masa dan kesejarahan menjadi faktor yang perlu diperhitungkan.

Dalam perkembangannya, akibat perpindahan atau hubungan antar masyarakat dalam berbagai
kegiatan, persinggungan bahkan percampuran antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain tidak akan terhindarkan. Proses pertemuan dua kebudayaan yang berbeda menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi (Poerwanto, 1997). Akulturasi terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang saling berbeda berhubungan langsung dan intensif sehingga kemudian menyebabkan perubahan pola kebudayaan pada salah satu atau kedua kebudayaan tersebut (Syam, 2005). Syam menyebutkan bahwa akulturasi lebih merupakan pengkayaan suatu kebudayaan tanpa merubah ciri awal kebudayaan tersebut. Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan dimana satu kebudayaan dapat menerima nilai-nilai kebudayaan yang lain dan menjadikannya bagian dari perkembangan kebudayaannya (Park dan Burgess dalam Poerwanto, 1997).

Rapoport (1994) menyebut akulturasi ini sebagai salah satu bentuk kebudayaan berkelanjutan (Cultural Sustainability) yang merupakan upaya suatu kebudayaan agar dapat bertahan. Rapoport, menyatakan, walaupun suatu kebudayaan pasti berubah, yang diharapkan adalah sebuah perkembangan, dengan tetap mempertahankan karakter dari kebudayaan tersebut. Perubahan lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan dan tatangan baru agar kebudayaan tersebut dapat tetap hidup. Dengan demikian ada bagian-bagian yang tetap eksis dan menjadi ciri kuat dari kebudayaan tersebut serta ada bagian-bagian yang berubah menyesuaikan perkembangan jaman (continuity and change). Unsur-unsur yang tetap dipertahankan dan diturunkan antar generasi menjadi tradisi kebudayaan.

4. Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Dalam membahas arsitektur, terdapat tiga aspek yang sangat terkait di dalamnya, yakni contend, container dan context. Contend menyangkut isi, yakni manusia sebagai penghuni dengan segala aktifitas dan kebudayaanya. Container menyangkut wadah, bentuk fisik, lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut. Context menyangkut tempat, lingkungan alam dimana wadah dan isinya berada. Perubahan diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain.

Dalam hal perubahan budaya, bentuk perubahan lingkungan permukiman tidak berlangsung spontan dan menyeluruh, tetapi tergantung pada kedudukan elemen lingkungan tersebut dalam sistern budaya (sebagai core atau sebagai peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan adanya, elemen-elemen yang tidak berubah serta ada elemen-elemen yang berubah mengikuti perkembangan. Elemen yang tetap akan menjadi ciri khas dan pengenal dari arsitektur suatu daerah pada skala yang luas, sementara elemen yang berubah akan menjadi farian dan keragaman pada lingkup atau daerah yang lebih kecil.

Arsitektur sebagai wujud nyata kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana kala kebudayaan sebagai suatu sistem keseluruhan mengalami perubahan. Bahkan sebagai bentuk kebudayaan yang kedudukannya paling luar, arsitektur merupakan bentuk kebudayaan yang paling rentan berubah. Sebagai bentuk adaptasi, perubahan-perubahan bentuk arsitektur tersebut akan mewakili kondisi kebudayaan pada saat itu, yang apabila dirangkaikan akan dapat bercerita tentang sejarah suatu kebudayaan.

5. Arsitektur Tradisional

Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban masyarakat setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006), Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture (Papanek dalam Wiranto, 1999). Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik (Tjahjono,1991). Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.

Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan disebut sebagai arsitektur
tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man & enfironment). Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter kebudayaan dan konteks lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat memenuhi kebutuhan dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak. Tradisi ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun simbolis.

B. KEBUDAYAAN PESISIRAN JAWA: KUDUS

1. Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari rangkaian lebih kurang 500 kebudayaan daerah yang menyusun kebudayaan Nusantara. Wilayah kebudayaan Jawa meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak termasuk daerah Pasundan di Jawa Barat serta Madura di Jawa Timur. Secara umum kebudayaan Jawa dikenal sebagai kebudayaan yang berkembang di lingkungan keraton di pedalaman Jawa yakni Keraton di Yogyakarta dan Surakarta (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan aristokratis (kerajaan) dengan latar kehidupan agraris (pertanian). Dalam aspek religi masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sebagian besar beragama Islam Sinkretik, yang sudah bercampur dengan agama Hindu, Budha serta kepercayaan setempat (Geertz, 1960). Pandangan Hidup orang Jawa menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan. Sikap narimo, menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (Mulder, 1984). Masyarakat Jawa hanya mengenal dua stratifikasi masyarakat yakni Penggede serta Wong Cilik (Castless, 1982). Dalam interaksinya, Penggede menjadi golongan yang superior yang dilayani dan disembah oleh Wong Cilik. Bahasa Jawa bertingkat-tingkat sebagaimana masyarakatnya. Penggunaan jenis bahasa dalam pembicaraan tergantung pada siapa lawan bicaranya serta dalam konteks apa pembicaraan tersebut berlangsung (Suseno, 1991).

Dalam bentukan arsitektur rumah tradisional terdapat farisasi bentuk yang dibedakan menurut atapnya. Dari yang paling sederhana, yakni: Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug. Diantara bentuk-bentuk rumah tersebut Joglo merupakan bentuk yang paling utama, biasa digunakan pada rumah-rumah para bangsawan. Atap Tajug tidak diperuntukkan untuk atap rumah karena hanya digunakan untuk makam, dan bangunan peribadatan. Dalam membangun rumahnya masyarakat Jawa banyak melihat pada strata sosialnya. Nilai-nilai budaya Jawa seperti pembagian dua (dualitas) serta pemusatan (sentralitas) terungkap dalam bentukan fisik serta keruangan rumah Jawa, terutama pada rumah Jawa Tipe Joglo (Tjahjono, 1989).

Kebudayaan Jawa sendiri menurut Koentjaraningrat bukan merupakan kebudayaan yang tunggal (Koentjaraningrat, 1984). Koentjaraningrat membagi kebudayaan Jawa menjadi beberapa wilayah kebudayaan, yaitu: Banyumas; Bagelen; Nagarigung; Mancanagari; Sabrang Wetan dan Pesisir. Daerah Pesisir terbagi lagi menjadi dua wilayah yaitu Pesisir Barat yang berpusat di Cirebon dan Pesisir Timur yang berpusat di Demak (Pigeud dalam Koentjaraningrat, 1984).

2. Kebudayaan Pesisiran

Kebudayaan pesisir merupakan kebudayaan yang terdapat di kota-kota pantai utara Jawa. Kawasan yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi aktifitas perdagangan serta penyebaran agama Islam. Masyarakat Pesisir mepunyai karakter egaliter, terbuka dan lugas (Thohir, 2006). Egaliter karena menganggap setiap manusia mempunyai kedudukan yang sejajar. Terbuka dalam menyampaikan pendapat dan perasaannya, mudah akrab dan tidak mudah curiga. Lugas, dalam berkomunikasi lebih suka langsung pada pokok pembicaraannya, lebih mementingkan isi daripada cara menyampaikannya. Thohir menganggap karakter ini berkaitan dengan lingkungan, agama serta mata pencahariannya. Kebudayaan masyarakat Pesisir ini lebih berorientasi ke masjid dan pasar daripada keraton dan sawah yang menjadi ciri kebudayaan Nagarigung.

Penduduk pesisiran merupakan masyarakat muslim yang puritan atau lebih dikenal dengan istilah santri. Mereka taat melaksanakan shalat lima waktu serta, shalat Jun’at di masjid, cakap mengaji Al Quran, tidak makan daging babi serta minum-minuman keras, menunaikan ibadah haji merupakan salah satu cita-citanya (Koentjaraningrat, 1984). Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah pedagang ataupun pengusaha, terutama barang kerajinan, pakaian, palawija serta rokok. Mereka adalah pengusaha dan pedagang yang rajin, ulet, pekerja keras serta ahli dalam bidangnya. Para pedagang pesisir ini mempunyai orientasi ke luar. Mereka merantau dari kota ke kota untuk menjajakan barang dagangannya untuk waktu yang cukup lama. Sekalipun begitu mereka mempunyai ikatan kelompok dan ikatan terhadap daerah asal yang sangat kuat. Di perantauan mereka tinggal mengelompok dalam kampung yang penghuninya berasal dari daerah yang sama (Geertz, 1977) dan setiap saat-saat tertentu mereka akan pulang ke kampung halamannya.

3. Kebudayaan Pesisiran di Kudus : Masyarakat Pedagang Santri

Pada daerah Pesisir Timur bagian Barat dalam sejarahnya terdapat tiga kota yang cukup terkenal, yakni Demak, Jepara serta Kudus. Demak merupakan pusat kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, Jepara merupakan kota pelabuhan penting bagi kerajaan Demak sementara Kudus merupakan kota pemasok hasil bumi untuk Demak dan Jepara yang didatangkan dari pedalaman (Graaf, 1985). Kudus merupakan salah satu pusat kebudayaan Pesisiran di bagian Barat atau Pesisiran Kilen (Koentjaraningrat, 1984) sekalipun Kudus tidak terletak di daerah pantai dan bukan kota pelabuhan.

a. Sejarah Perkembangan Kota

Sejarah kota Kudus banyak dikaitkan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa serta sejarah tentang Walisongo. Ja’far Shodiq (yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus), salah seorang Walisongo yang menjadi penghulu di Demak, diperintahkan oleh penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam, 1977). Kudus kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan agama Islam. Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun 1550 dan berakhir ketika kerajaan Mataram Islam menguasai hampir seluruh daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak abad 18 Kudus berada dibawah kekuasaan Belanda dan dijadikan daerah setingkat Kabupaten.

Pada abad 19 Kudus mengalami perkembangan sosial ekonomi pesat karena meningkatnya produksi pertanian. Daerah Kudus Kulon berkembang menjadi daerah permukiman saudagar-saudagar hasil bumi yang kaya. Perkembangan ini meningkat tajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 – awal abad 20). Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 – 1970). Ketika keadaan kembali stabil perkembangan kota lebih mengarah ke selatan dan Timur, sementara Kudus Kulon tidak mengalami banyak perobahan (Wikantari, 1995).

b. Masyarakat Kudus

Secara sosiologis kota Kudus terbagi menjadi dua yakni Kudus kulon dan Kudus wetan yang dipisahkan oleh sungai (kali Gelis). Kudus-kulon adalah kota lama yang di konotasikan dengan kekunoan, kekolotan, ketertutupan tetapi juga kesalehan serta kemakmuran. Sedangkan Kudus-wetan dikenal sebagai daerah perkembangan yang lebih modern, lebih heterogen serta daerah yang sekuler.

Masyarakat Kudus-kulon dikenal sebagai masyarkat religius, kehidupan keagamaannya mendominasi kehidupan sehari-hari, di sisi lain dikenal sebagai pedagang yang gigih pekerja keras dan terampil. Diantara mereka dikenal ungkapan "Jigang" yang berarti Ngaji (membaca Al Quran) dan Dagang (Perdagangan). Ngaji adalah aktivitas keagamaan yang merupakan pencerminan keta’atan seorang muslim dalam menjalankan perintah agama, sedangkan dagang adalah kegiatan duniawi yang. merupakan upaya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Kegiatan duniawi dan ukhrowi harus dijalankan secara seimbang agar tercapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Keuletan, kecerdikan dan kerja keras sebagai pedagang menyebabkan masyarakat Kudus-kulon berhasil dalam bidang perekonomian. Ketika perdagangan beras dan polowijo mencapai puncak kejayaannya, masyarakat Kudus-kulon berkembang menjadi masyarakat yang makmur, terlebih lagi pada masa keemasan industri dan perdagangan rokok. Kemakmuran ini diwujudkan dengan menunaikan ibadah Haji, membangun masjid lingkungan serta dalam penampilan bangunan rumah tinggalnya. Pada masa itu rumah bukan hanya sarana untuk memertuhi kebutuhan fisik saja, tetapi berkembang menjadi sarana menampilkan aktualisasi diri dari masyarakat pedagang santri, golongan menengah Jawa yang kurang mendapatkan tempat dalam tatanan sosial masyarakat Jawa (Castles,1967).

c. Lingkungan Permukiman

Kota lama Kudus atau Kudus-kulon adalah wilayah kota yang merupakan embrio perkembangan kota Kudus. Wilayah kota lama meliputi daerah-daerah di sebelah barat sungai Gelis, meliputi desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, Janggalan, Damaran serta Kajeksan. Secara fisik kawasan pusat Kota lama mempunyai keunikan dibandingkan daerah-daerah lain. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan bangunan yang tinggi.

Jalan-jalan di lingkungan kota lama dibedakan menjadi jalan besar yang bersifat umum serta jalan lingkungan yang lebih prifat. Jalan-jalan di dalam lingkungan pemukiman berupa lorong-lorong sempit yang berliku-liku. Jalan lingkungan ada yang mengarah utara-selatan yang menyusur di antara pekarangan-pekarangan rumah (disebut lorong) serta jalan yang mengarah barat-timur yang seringkali melintas pekarangan (disebut jalan pintas). Jalan yang sempit berliku-liku menunjukkan jalan tersebut terbentuk setelah permukiman berdiri dan merupakan jalan pintas menuju ke pusat-pusat lingkungan.

Pusat kawasan terdapat pada masjid Menara yang merupakan masjid jami’, sedangkan pada lingkungan permukiman banyak terdapat masjid lingkungan yang merupakan pusat aktivitas masyarakat di sekitamya. Masjid lingkungan digunakan untuk melaksanakan ibadah sehari-hari (shalat lima wktu dan shalat sunnah yang lain) oleh masyarakat di sekitarnya. Masjid menara digunakan selain digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari bagi masyarakat di sekitar masjid juga kegiatan peribadatan yang skalanya lebih besar. Sebagai pusat lingkungan masjid tidak hanya digunakan untuk kegiatan peribadatan dan pendidikan keagamaan, namun juga sebagai tempat kegiatan sosial.

Pola permukiman secara umum dibedakan menjadi dua, yakni pola rumah-rumah deret serta pola rumah-rumah tunggal. Pola rumah-rumah deret terdiri dari kelompok bangunan yang berderet rapat dari Barat ke Timur, antara rumah satu dan lain dalam satu kelompok tidak terdapat batas yang jelas. Pola kedua yakni permukiman dengan rumah-rumah tunggal ditandai dengan letak rumah yang berdiri sendiri dengan batas pekarangan yang jelas.

d. Rumah Tradisional Kudus

Rumah tradisional Kudus merupakan kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama, yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru di sebelah depan serta pawon di samping Dalem. Di tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka (pelataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur (Pekiwan) serta Sisir. Regol terletak disisi samping halaman.


Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan untuk tidur serta kegiatan yang sifatnya prifat. Di dalanya terdapat Gedongan, yakni sentong tengah Kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat upacara pernikahan digunakan sebagai kamar pengantin. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (disebut pawon ageng) serta tempat memasak pada bagian belakang (pawon alit), ruangan ini paling sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi terletak di sebelah depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama. Merupakan ruang ruang serfis, digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat penyimpanan (gudang) atau ruang serba guna.


C. KAJIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL KUDUS DALAM PERUBAHAN KEBUDAYAAN

Mengkaji perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan dengan studi kasus Kudus kulon akan merujuk pada interpretasi terhadap sejarah kebudayaan masyarakat Kudus dikaitkan dengan perkembangan arsitektur, khususnya rumah tradisionalnya. Apa yang diungkapkan berikut adalah satu interpretasi atau pendapat yang sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Tujuan yang lebih utama adalah untuk memberikan gambaran bahwa perubahan pada kebudayaan akan tercermin pada perubahan arsitektur, mengingat arsitektur merupakan artefak dari kebudayaan.


1. Periode Sebelum Islam, Sampai Akhir Abad 15

Kondisi geografis Kudus pada saat itu terletak di dataran lembah dengan gunung Muria di sisi utara dan daerah rawa-rawa di sisi selatan. Daerah ini diperkirakan merupakan sisa-sisa kanal atau selat yang pernah memisahkan pulau Muria dengan pulau Jawa. Kemungkinan telah terdapat permukiman kecil disebut Tajug yang dihuni masyarakat penganut agama Hindu ditepi sungai Gelis dengan matapencaharian sebagai petani (Wikantari, 1994). Disamping agama Hindu, kepercayaan asli setempat (dinamisme dan animisme) masih dipegang teguh.

Kelompok permukiman penganut hindu terdiri dari rumah-rumah penduduk dan kemungkinan terdapat asrama (mandala) serta tempat ibadah (kuil). Rumah-rumah kemungkinan berbentuk kampung atau limasan dengan material bambu atau kayu. Konstruksi rumah berbentuk panggung untuk mengatasi kondisi alam berawa-rawa. Atap bangunan menggunakan rumbia, yang merupakan bahan bangunan yang mudah didapatkan di sekitarnya. Bangunan peribadatan dibangun dengan menggunakan bahan yang lebih awet, teknik membangun yang lebih rumit serta ornamentasi pada bangunan yang merepresentasikan kemuliaan dan keabadian. Material utama menggunakan batu bata (tanah liat yang dibakar) yang disusun berlapis tanpa pengikat semen.


2. Periode Pengembangan Agama Islam, Awal – Pertengahan Abad 16

Sebelum kedatangan Ja’far Shodiq telah datang terlebih dahulu The Ling Sing, penyiar agama Islam dari Yunan (China) yang selain menyebarkan agama Islam juga mengajarkan ketrampilan mengukir atau menyungging pada masyarakat. Ja’far Shodiq datang kemudian dengan pengikut-pengikutnya ke Kudus untuk menyebarkan agama Islam, mengembangkan permukiman baru serta mulai memperkenalkan ketrampilan berdagang. Penyebaran agama Islam dilakukan secara persuasif serta menghormati keyakinan yang sudah ada lebih dahulu. Ja’far Shodiq membangun masjid Al Manaar, membagi-bagikan tanah pada pengikutnya dan mendirikan kota. Pengaruh Cina serta Timur Tengah masuk dalam kebudayaan masyarakat, disamping Hindu dan Jawa. Demikian juga struktur masyarakat berkembang dengan tatanan yang lebih kompleks.


Masjid yang awalnya kecil kemungkinan dibangun di bekas tempat peribadatan Hindu, atau dengan mempergunakan pengetahuan membangun tempat ibadah Hindu yang disesuaikan untuk Masjid. Diversifikasi bentuk bangunan bangunan mulai di kenal untuk merepresentasikan fungsi atau penghuninya. Atap bangunan peribadatan berbentuk tajuk, bangunan untuk petinggi atau penguasa berbentuk limas dan Kampung untuk masyarakat umum. Penggunaan material kayu jati untuk bangunan penting. Ukiran atau ornamentasi mulai dikenal sebagai elemen penghias bangunan penting. Rumah biasa mungkin tetap menggunakan bahan bambu serta beratap kampung dari bahan rumbia. Pusat Kota berupa pelataran terbuka diletakkan berebelahan dengan sungai. Pelataran ini sekaligus digunakan sebagai pasar. Di sisi barat terdapat Masjid yang menghadap pelataran tersebut. Di sisi selatan masjid terdapat Pendopo yang diperkirakan merupakan bangsal istama, kemungkinan lain istana atau rumah Sunan Kudus terdapat di sisi utara kawasan dengan masjid pribadinya, Langgar Dalem. Dengan membagi-bagikan tanah disekitarnya pada pengikutnya, Sunan Kudus sudah meletakkan dasar-dasar tata kota Kudus.


3. Periode Kekuasaan Mataram Islam, Awal Abad 17 – Akhir Abad 18

Dengan jatuhnya kekuasaan Demak ke Pajang dan kemudian Mataram, kekuasaan kerajaan bandar berpindah ke selatan, ke kerajaan agraris yang veodal, saat itu Kudus berkembang menjadi pemasok beras dan palawija dari pedalaman ke bandar Demak, Jepara serta tempat-tempat lain. Perdagangan keliling lambat laun menjadi mata pencaharian penting masyarakat Kudus dan memberikan peningkatan sosial ekonomi pada masyarakat, menjadi kelopok masyarakat yang makmur dan mandiri.


Orientasi masyarakat Kudus waktu itu banyak ditujukan ke Nagarigung sebagai ibukota kerajaan. Kemampuan ekonomi hasil perdagangan diwujudkan dengan pembangunan rumah-rumah dari bahan yang lebih baik, kayu jati. Bentuk Joglo yang menjadi lambang kebangsawanan menjadi bentuk yang disukai untuk menaikkan derajat sosial. Tata ruang rumah mengalami penyederhanaan dengan hanya meliputi Dalem serta pawon. Tata ruang rumah yang ringkas ini kemungkinan ada hubungannya dengan perkembangan peduduk kota yang mulai padat, terutama di sekitar pusat Kawasan (Masjid Menara). Arah selatan yang menjadi orientasi rumah tetap dipatuhi, sehingga menimbulkan pola rumah berderet pada kapling-kapling yang mulai ramai.


4. Periode Kekuasaan Kolonial Belanda, Abad 18

Pada masa kekuasaan kolonial belanda, Kudus dijadikan wilayah pemerintahan setingkat kabupaten dan pejabat-pejabat pemerintah lansung diangkat oleh Belanda. Hubungan dengan Nagarigung menjadi terputus dan penguasa-penguasa Kudus menjadi semacam raja. Belanda memindahkan pusat kota ke sebelah Barat kali Gelis dan kota lama dibiarkan tetap dalam kondisi tradisionalnya. Perdagangan keliling semakin ditekuni masyarakat kota lama Kudus. Demikian pula dengan kehidupan keagamaannya. Menguatnya perekonomian masyarakat menummbuhkan tuntutan aktualisasi diri pada masyarakat Kudus. Sayang tuntutan tersebut tidak mendapat respon yang positif. Pergesekan dengan pemerintah Belanda, masyarakat Jawa sendiri serta orang China mulai sering terjadi. Ikatan diantara masyarakat semakin kuat karena karakteristik kelompok masyarakat tersebut.

Pengaruh kolonial Belanda dan eropa tercermin pada penggunaan elemen-elemen non kayu yang mulai mewarnai rumah Kudus. Unsur keamanan mulai diperhatikan masyarakat dengan membangun pagar-pagar halaman. Ketertutupan terhadap masyarakat luar serta ikatan kelompok yang berkembang diwujudkan dengan adanya dinding-dinding pembatas. Masyarakat mengembangkan kehidupannya dibalik tembok pembatas. Bentuk rumah berkembang menyesuaikan tradisi masyarakat. Emperan rumah mulai ditutup dan diperbesar untk menerima tamu.


5. Periode Kejayaan Sosial Ekonomi, Abad 19 – Awal Abad 20

Menjelang akhir abad 19 kota Kudus mengalami peningkatan kemakmuran berkat melimpahnya hasil pertanian daerah sekitarnya, terutarna. beras, polowijo dan gula jawa. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang pedagang Kudus. Aktivitas perdagangan mengharuskan mereka menjelajah sampai di tempat tempat yang jauh (biasa disebut belayar) yang memakan waktu berminggu minggu sampai berbulan¬-bulan. Setelah berkeliling dan sukses mereka kemudian kembali (berlabuh) atau menetap di suatu kota. Sementara para suami berlayar, kaurn wanita Kudus melakukan kegiatan kerajinan rumah tangga atau berdagang kecil kecilan. Hasil kerajinan rumah tangga berupa batik, bordir dan tenun ikut menjadi mata dagangan dari suami suami mereka.

Pada paruh pertama abad 20 Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokok kreteknya. Industri yang semula merupakan kerajinan rumah tangga berkernbang menjadi industri besar 13). Kemajuan perdagangan dan industri pribumi menarik kalangan masyarakat Cina untuk beramai ramai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini mernicu pertentangan antar etnis yang sengit dan berlarut larut 14). Perkembangan ini lebih dipertajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 awal abad 20). Perkembangan ini menyebabkan kepercayaan diri yang besar dari masyarakat Kudus berkembang. Mereka membangun strata sosial sendiri menjadi kaum borjuis. Tuntutan aktualisasi diri menjadi semakin kuat melawan perlakuan masyarakat luar yang dianggap kurang menghargai.

Jalan jalan kereta api di dibangun untuk mengantisipasi perkembangan industri gula dan produksi beras. Daerah Kudus kulon berkembang menjadi daerah permukiman saudagar saudagar hasil bumi yang kaya dari hasil perdagangan. Rumah-rumah besar dibangun dengan bentuk Joglo yang dimodifikasi. Brunjung atau bagian atas dari atap Joglo dibuat lebih tinggi, dikenal sebagai Joglo Pencu. Ornamentasi semakin rumit dan halus serta menghiasi hampir seluruh permukaan dinding rumah, terutama ruang Jogosatru dan Gedongan. Elemen-elemen khusus yang hanya di temui di Rumah tradisional Kudus memperkuat karakter rumah. Musholla-musholla mulai banyak didirikan untuk mendekatkan dengan rumah. Sumur dan kamar mandi mungkin sudah dibuat di depan rumah sejak awalnya. Untuk mempermudah kegiatan ibadah yang perlu bersuci sebelum ke masjid atau musholla. Bangsal didirikan di depan rumah untuk menampung barang dagangan atau untuk tempat kerja produksi Rokok. Gudang gudang dan pabrik rokok banyak didirikan di Kudus kulon.


6. Periode Surutnya Kejayaan Sosial Ekonomi, Awal Abad 20 – Tahun 1970an

Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 1970). Banyak perusahaan yang bangkrut dan gudang gudang terbengkalai. Industri Rokok yang pernah mengantarkan sosial ekonomi ke puncak kejayaan beralih ke tangan orang-orang China yang mengembangkannya menjadi Industri raksasa dengan dukungan pemerintah. Bagi masyarakat Kudus sendiri industri rokok tidak pernah bangkit kembali. Hanya beberapa keluarga keturunan pengusaha rokok besar yang masih meneruskan usahanya dalam skala kecil. Surutnya perekonomian membawa dampak pada kehidupan masyarakat, namun tidak pernah menghilangkan semangat perdagangan dan usaha mandiri masyarakat.

Rumah-rumah Kudus mulai menjadi obyek yang bermasalah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu tidak lagi mampu mendukung keberadaan rumah-rumah tradisional Kudus. Demikian juga dengan ketersediaan material kayu jati yang semakin langka. Elemen-elemen bangunan yang rusak mulai diganti dengan elemen yang lebih murah dan awet. Jumlah penghuni yang berkembang juga mulai merubah fungsi-fungsi awal dari ruangan yang ada. Namun secara keseluruhan bangunan tidak mengalami perubahan. Bangunan bangunan baru yang didirikan tidak lagi menerapkan bangunan tradisional karena alasan kepraktisan serta biaya.



7. Masyarakat Kudus Kulon Saat Sekarang

Akhirnya ketika keadaan lebih stabil penataan perkembangan kota mulai dilakukan Kudus berkembang menjadi kota industri kecil. Perluasan kota mengarah ke selatan dan timur, sementara kota lama tidak mengalami banyak perubahan. Pada sisi kehidupan sosial masyarakat. Kegiatan industri rokok sudah mulai di tinggalkan. Beberapa industri kecil rumahan seperti jamu sempat berkembang sebentar diantara masyarakat. Industri yang terus bertahan adalah industri Konfeksi. Pada tahun-tahun terakhir mulai bermunculan industri kerajinan ukir untuk perabot serta elemen bangunan, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak dan letaknya tersebar di wilayah Kota Kudus (Wikantari, 2001) dan yang sampai sekarang terus berkembang dengan pesat adalah industri bordir.

Ketika masa kemakmuran berlalu, banyak rumah rumah dan fasilitas-fasilitas perekonomian yang kemudian terbengkalai. Perselisihan yang terjadi diantara keluarga keturunan pemilik rumah, kesulitan ekonomi serta rumitnya perawatan rumah seringkali berakhir dengan dijualnya rumah rumah tersebut. Di sisi lain keunikan dan kemewahan rumah Kudus sangat menarik minat orang-orang di luar Kudus, bahkan luar negeri untuk memilikinya. Akibatnya dari tahun ke tahun jumlah rumah tradisional terus berkurang. Tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah melakukan inventarisasi dan hanya menemukan 33 rumah adat kudus dan 68 rumah diseluruh kota Kudus.

Berkurangnya rumah tradisional Kudus juga disebabkan karena sifat kayu yang tidak tahan terhadap cuaca dan waktu dibandingkan dengan material batu atau beton. Kecuali yang selalu dirawat dengan seksama, rumah-rumah tradisional yang sudah lewat seratus tahun sudah mulai lapuk dan rusak. Dalam perkembangannya kemudian rumah rumah di daerah ini banyak mengalami perubahan perubahan baik dalam hal penggunaan bahan bangunan maupun dalam corak arsitektur bangunannya. Ada yang hanya berubah sedikit pada elemen-elemen bangunannya, berubah satu unit bangunan yang hilang dan digantikan bangunan baru atau yang berubah sama sekali, walaupun ada pula yang masih tetap berusaha untuk tetap mempertahankannya.

Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus serta bentukan rumah tinggalnya secara ringkas dapat dilihat pada tabel di bawah:


D. PENUTUP

Rentetan peristiwa dalam kesejarahan masyarakat Kudus kulon membawa perkembangan perubahan dalam kebudayaan masyarakat Kudus. Akulturasi dari berbagai kebudayaan (kebudayaan lokal, Hindu, Islam, Cina, Kolonial, Eropa) mewarnai kebudayaan Kudus sampai saat ini. Perkembangan dari masa kemasa tersebut tercermin pada perkembangan artefaknya, yakni rumah traisional Kudus. Dari gambaran morfologi rumah tradsional Kudus dalam perkembangan kesejarahannya dapat dilihat bagaimana rumah tradisional sampai pada bentuk seperti sekarang. Sebagaimana dikatakan Rapoport, Oliver, Nash, Tjahjono, bahwa suatu kebudayaan yang bentuknya tercermin dalam arsitektur akan selalu berubah atau berkembang. Selama nilai nilai yang dipatuhi masih dianggap berguna serta cocok dalam menghadapi tantang kehidupan, maka nilai-nilai tersebut masih akan lestari atau lentur berubah dengan tetap mempertahankan karakteristik intinya.



DAFTAR PUSTAKA

Castles, Lance, 1982, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kretek Kudus, sinar harapan, Jakarta.
De Graaf, H.J., dan Pigeoud, T.H., 1985, Kerajdan kerajdan Islam & Jawa, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Geertz, Clifford, 1960, 7he Religion of Java, The university of Chicago Press, London.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
………………..., 2005, Pengantar Antropologi Budaya
Martana. Salman P, 2006, Problematika Penerapan Vield Research Dalam Penelitian Arsitektur Vernakular di Indonesia, Dimensi Teknik Arsitektur vol. 34
Mulder, Neils, 1984, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Poerwanto, Hari, 1997, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Depdikbud, Jakarta
Rapoport, Amos, 1983, Development, Culture Change and Suportive Design, Pergamon Press, New York
………………..., 1994, Sustainability, Meaning & Traditional Environment. IASTE Converence, Tunis
Salam, S, 1977, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam, Menara Kudus, Kudus
Soetomo, Soegijono, 2009, Urbanisasi dan Morfologi, Graha Ilmu, Yogyakarta
Syam, Nur, 2005, Islam Pesisir, LKIS, Yogyakarta
Thohir, Mudjahirin, 2006, Orang Islam Jawa Pesisiran, Fasindo, Semarang
Tjahjono, Gunawan, 1989, Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural Tradition : The Symbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi , University of California, Barkelay.
Wikantari, Ria R., 1995, Save guarding A Living Heritage A Model for The Architectural Conservation of an Historic Isimnic District of Kudus Indonesia, Thesis University of Tasmania, Tasmania.
…………………., 2001, Sustainability Historic Enviroment of Wooden Traditional Houses in The City of Java, Disertasi, University of Kobe, Japan.